Oleh: Pdt Daniel T.A. Harahap
Perkawinan atau pernikahan oleh orang tua kita jaman dulu dianggap sebagai sesuatu yang alami atau natural, yang akan dipahami dan dihayati dengan sendirinya oleh setiap orang. Namun pada masa kini pernikahan atau perkawinan itu dianggap sebagai suatu konstruksi atau bangunan sosial, sebab itu perlu dipelajari, sebelumnya direncanakan baik-baik dan sesudahnya mesti dirawat senantiasa. Gereja kita HKBP sempat berpikir bahwa anggota jemaat juga akan mengetahui dengan sendirinya hal-ikhwal perkawinan, dengan mencontoh apa yang disaksikan dan dialaminya dengan perkawinan orangtuanya atau orang-orang lain sebelumnya. Sebab itu banyak gereja HKBP (bahkan sampai kini) tidak menganggap penting adanya katekisasi pra nikah apalagi pembinaan suami-istri paska perkawinan.
Namun kini kita sadar pemahaman lama yang menganggap perkawinan itu alami dan tidak perlu dipersiapkan tidak lagi relevan. Manusia termasuk anggota jemaat kita harus dipersiapkan-mempersiapkan diri secara sengaja dan serius untuk menikah dan membangun keluarganya. Mulai meningginya angka perceraian atau “cerai tak cerai” di kalangan anggota jemaat kita, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perselingkuhan dan bentuk-bentuk lain kegagalan perkawinan mengingatkan kita bahwa gereja dan kita semua harus belajar lagi tentang perkawinan tersebut.
4 (Empat) Prinsip Perkawinan Kristiani
Markus 10:6-9 menginspirasi kita minimal ada 4(empat) prinsip atau tiang perkawinan kristiani itu:
Pertama: perkawinan adalah persekutuan yang setara. Tuhan menciptakan kita manusia (baik laki-laki maupun perempuan) menurut citra atau gambaranNya. Itulah yang membuat kita semua, baik laki-laki maupun perempuan, adalah pribadi yang sama-sama terhormat, mulia dan berharga. Dalam Kristus tidak ada perbedaan hakikat laki-laki maupun perempuan (Gal 3:28). Selanjutnya: dalam Tuhan tidak ada perempuan tanpa laki-laki dan tidak ada laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatu berasal dari Allah. (1 Korintus 11:11-12). Baik suami maupun istri memiliki kewajiban yang sama terhadap pasangan hidupnya (1 Korintus 7:3).
Dengan terang pemahaman Alkitab ini dengan jelas kita memahami dan bersikap bahwa perkawinan dengan demikian adalah kemitraan yang sejajar (pardonganan na so marhadosan). Hubungan suami-istri bukanlah hubungan sub-ordinasi atau penguasaan atau penjajahan, melainkan hubungan perjanjian dua pihak setara yang saling mengasihi dan menyerahkan diri. Perempuan bukan sub-ordinat atau perpanjangan tangan dari laki-laki. Begitu juga sebaliknya.
Konsepsi tentang kesetaraan ini selanjutnya menuntun kita untuk memahami perintah tunduk dan mengasihi dalam Efesus 5:22-33 dan Kolose 3:18-19 adalah hal yang sama. Istri diminta untuk tunduk dan mengasihi suaminya. Sebaliknya suami juga diminta untuk mengasihi dan tunduk kepada istrinya. Dan keduanya harus tunduk dan mengasihi Allah.
Namun kita juga sadar sejarah manusia sejak lama memandang perempuan sebagai mahluk yang lebih rendah daripada laki-laki. Perempuan sejak ribuan tahun atau bahkan lebih dieksploitasi, dijadikan objek, atau bahkan dianggap sebagai properti (harta benda) milik laki-laki. Untuk mengubah ini tentu bukan suatu hal yang mudah. Namun kesulitan mengubah pandangan dan sikap lama ini tidak juga boleh dijadikan pembenaran atau alasan untuk mengekalkannya.
Kedua: perkawinan adalah persekutuan yang tunggal. Pada jaman dahulu, masyarakat Yahudi (juga Batak sebelum masuknya kekristenan) menganggap poligami (suami memiliki banyak istri) adalah hal yang wajar dan normal. Dalam rangka memperbanyak keturunan, menunjukkan keperkasaan dan kekuasaan, mengikat hubungan politik dan lain-lain, seringkali seorang laki-laki menikahi banyak perempuan secara resmi atau tidak resmi. Kita juga tahu bahwa para leluhur Israel dalam PL seperti Abraham, Yakub dan Musa, juga Daud, memiliki lebih dari satu orang istri. Bahkan Raja Salomo disebutkan memiliki 700 istri dan 300 gundik (1 Raja 11:3). Dengan pemahaman budaya kuna yang cenderung menjadikan perempuan sebagai objek bahkan properti maka poligami menjadi sangat logis.
Namun Yesus mengubah konsepsi perkawinan bukan lagi sebagai pemilikan perempuan melainkan perjanjian dua pribadi untuk saling mengasihi secara total. Hal itu nyata-nyata tidak dimungkinkan dalam poligami. Persekutuan sempurna berdasarkan janji penyerahan diri dan perlindungan total itu hanya dapat terjadi dalam perkawinan monogami.
Yesus memakai istilah “satu daging” untuk melukiskan perkawinan. Melalui perkawinan dua orang yang saling mengasihi itu tidak lagi merupakan dua entitas yang terpisah melainkan telah menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Ini adalah misteri perkawinan yang sangat sulit diterangkan. Pada faktanya perkawinan bukanlah peleburan. Suami tetap suami. Istri tetap istri. Namun perkawinan itu membuatnya kedua merasa lekat dan satu secara sempurna.
Sebab itulah perkawinan disebut kudus. (kudus berasal dari kata Ibrani “kadosy” yang artinya dipisahkan atau dikhususkan). Seorang laki-laki dipisahkan dan dikhususkan untuk menyerahkan diri kepada seorang perempuan. Begitu juga sebaliknya. Dan keduanya dipisahkan untuk menyerahkan diri hanya kepada Allah.
Ketiga: perkawinan adalah persekutuan yang otonom. Prinsip ketiga dalam perkawinan adalah otonomi. Yesus mengatakan (diperkuat oleh Paulus dalam Efesus 5:31) bahwa laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya untuk bersatu dengan istrinya. Sabda Yesus ini berbeda dengan anggapan orang banyak: perempuanlah yang meninggalkan ayah dan ibunya.
Dari sinilah kita mendapatkan prinsip ketiga perkawinan yaitu otonomi. Maksudnya sebuah perkawinan adalah lembaga yang otonom yang tidak bisa dicampuri oleh siapapun juga, termasuk oleh orangtua suami maupun istri. Orangtua atau kerabat boleh-boleh saja memberi masukan namun keputusan bagaimanapun juga ada di tangan suami dan istri.
Banyak masalah terjadi dalam perkawinan justru karena campur tangan pihak luar ini, baik orangtua maupun pihak ketiga lain yang tidak berkompeten. Campur tangan itu sebagian diakibatkan oleh ketidakrelaan orangtua melepas anak-anaknya hidup mandiri dan “terpisah” dari dirinya, dan sebagian lagi justru karena ketidaksiapan pasangan yang sudah menikah itu hidup mandiri dan otonom sebab itu ingin terus-terusan bergantung kepada orangtuanya, baik secara psikologis maupun ekonomis.
Otonomi perkawinan dan keluarga inti ini sekarang mendapatkan tantangan yang hebat. Pertama: karena kedua pasangan suami-istri bekerja maka banyak keluarga muda kembali tinggal di rumah orangtua mereka atau menitipkan anak-anak mereka untuk dijaga dan diasuh oleh ompungnya. Jika anak yang sudah menikah tinggal di rumah orangtuanya, maka di rumah itu yang menjadi kepala atau pemimpin adalah orangtuanya. Mereka adalah penumpang. Sebab itu sedikit-banyak pasangan yang sudah menikah ini harus tunduk kepada aturan dan kebiasaan yang berlaku di sana. Dan ini dapat mengaburkan kedudukan dan peran pasangan muda itu sebagai rumah tangga. Masalah lain: anak-anak pun bisa mendapatkan pola pendidikan dualis, yang bisa saja berbeda atau bertentangan. Lain ajaran ompung lain pula ajaran ayah dan ibunya.
Selanjutnya otonomi perkawinan ini juga bisa berkurang akibat semangat komunalitas dan keluarga besar kita yang berlebihan. Persekutuan-persekutuan keluarga besar memang sangat penting apalagi di era global yang sangat menakutkan ini, namun kedudukan dan peran keluarga inti tetap tidak bisa digantikan oleh keluarga besar. Misalnya: tanggungjawab mendidik dan membentuk karakter anak tidak bisa diserahkan kepada keluarga besar. Ibadah harian keluarga tidak bisa digantikan oleh kebaktian apalagi arisan bulanan keluarga besar. Sebab itu tanpa mengabaikan keluarga besar maka pasangan-pasangan muda perlu lebih serius lagi memikirkan perkawinan dan hidup rumah tangganya.
Keempat: perkawinan adalah persekutuan yang final. Bagi Yesus perjanjian perkawinan adalah suatu hal yang final. Janji pernikahan ibarat patok tanah yang tidak bisa dicabut lagi. Perkawinan tidak bersifat situasional, insidental atau tergantung mood (suasana hati). Sabda Tuhan Yesus: Apa yang telah dipersatukan Allah tidak dapat diceraikan manusia.
Walaupun dalam PL perceraian masih dapat dilakukan karena alasan tertentu, namun bila kita baca dalam Maleakhi 2:16 Tuhan Allah membenci perceraian. Sebab itu umat dilarang melakukan sesuatu yang sangat dibenci Tuhan itu. Dalam kotbah di bukit (Matius 5:31) seolah-olah Yesus mengijinkan perceraian jika pasangan hidup berzinah. Namun gereja menafsirkan perkataan Yesus itu bahwa tidak ada satu orang pun yang tidak pernah berzinah (minimal dengan mata, pikiran dan hatinya) selama hidupnya, sebab itu kita tidak dapat menuntut perceraian dengan alasan pasangan kita telah berzinah. Selanjutnya gereja juga mengatakan: bahwa perzinahan itu tidak dapat diukur. Perzinahan macam dan tingkat apa yang bisa dijadikan ukuran untuk bercerai? Sebab itu daripada bercerai orang Kristen diundang memberi pengampunan kepada orang yang dikasihinya.
Alasan lain yang kerap dikemukakan pada jaman sekarang untuk menuntut perceraian adalah kekerasan domestik atau kekerasan dalam rumah tangga (biasa disingkat KDRT). Disini kita memang menemukan kondisi dilematis. Di satu sisi gereja tidak mengijinkan perceraian namun di pihak lain gereja juga tidak boleh membiarkan kekerasan terjadi dalam rumah tangga anggotanya. Lantas bagaimana?
Gereja kita harus memberi perhatian yang lebih serius kepada penanganan kekerasan domestik atau KDRT ini. Ada kemungkinan kasus-kasus kekerasan domestik ini ibarat gunung es. Di luar tampak kecil namun di bawah permukaan sebenarnya sangat besar. Apalagi kita tahu bahwa umumnya kekerasan domestik selalu disembunyikan dan ditutup-tutupi oleh yang bersangkutan dan keluarga dekatnya karena dianggap aib. Bahkan dianggap tabu (pantang, tongka) dibicarakan.
Baiklah kita sadar bahwa kekerasan domestik tidak akan selesai dengan mendiamkannya apalagi menyembunyikannya. Sebab itu jika ada anggota jemaat yang mengalami kekerasan domestik, kami mengatakan sebaiknya segera memberitahukannya kepada pendeta/ parhalado, untuk didoakan dan dibantu jalan keluarnya. Makin ditutupi dan makin lama dibiarkan maka luka hati akibat kekerasan itu semakin sulit disembuhkan. Baiklah kita samna-sama sadar kekerasan domestik hanya bisa diselesaikan dengan membukakan peristiwa itu kepada pihak2 yang kita anggap pantas dipercaya. Selain keluarga dekat maka gereja harus tampil sebagai pihak yang pantas dipercaya oleh anggota jemaatnya.
Posting Komentar